The Code

(Poster by kissmedeer)

The Code

by

Zoe Alanna

Cast: Lee Ji Eun, Jang Wooyoung, Bae Suzy

Genre: AU, Romance, Fantasy, Psychology, Sad || Rating: PG-15 || Length: Oneshot

Summary: Kehidupan, kematian, sebuah rasa, dan sebuah kode menjadi teka-teki gadis itu. Ia bahkan tidak menyadari bahwa semua yang dialaminya hanyalah kode yang menuntunnya pada sebuah permintaan maaf dan pemahaman baru.

Warning! This fanfiction is full of absurdity and typos. Dan tolong untuk perhatikan waktunya ya.

A little bit inspired by ‘Colorful’ movie

 

***

 

December 24th,  2013

Tap

Tap

Tap

Langkah kaki milik gadis itu terhenti saat melihat seseorang dengan jubah hitam panjang berjalan menghampirinya. Gadis itu melirik gugup seseorang—atau mungkin makhluk gaib?—yang berjalan perlahan menghampirinya.

Bola matanya melebar sempurna saat seseorang dengan pakaian serba hitam serta kertas digenggamannya berhenti di depannya.

Pupil matanya kian melebar saat seseorang itu berseru padanya, “Selamat karena Anda berhasil terpilih!”

“Eh?” Lee Ji Eun, gadis itu, mengerjapkan matanya beberapa kali saat mendapati seoseorang itu sedang tersenyum padanya. Ji Eun melirik seseorang—yang ternyata seorang pemuda—sedang melihat-lihat kertas yang dipegangnya.

“Namamu Lee Ji Eun, ‘kan?”

“Ya.” sahut Ji Eun cepat. Keningnya berkerut samar saat mendapati fakta bahwa pemuda itu tahu namanya padahal mereka belum pernah bertemu sebelumnya. “Bagaimana kau bisa tahu?” Ji Eun bertanya takut-takut. Kakinya mundur selangkah dan ia berusaha mati-matian menahan lututnya yang bergetar.

Alih-alih menjawab, pemuda itu malah tersenyum. Tangan pemuda itu terjulur di hadapan Ji Eun yang masih menatapnya dengan takut.

“Aku Cherubim tahun ini.”

Ji Eun menatap tangan pemuda itu dengan ragu. Ia masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya. Apakah ia sedang bermimpi? Ji Eun menatap pemuda di hadapannya itu penuh selidik. Ia seperti mengenali raut wajah  itu, tapi… siapa? Entah kenapa wajahnya seperti sangat familier bagi Ji Eun.

Sadar Ji Eun tidak ingin menyambut uluran tangannya, pemuda itu menarik tangannya dan kembali melirik kertas-kertas digenggamannya. “Baiklah, Ji Eun kau—”

“Tunggu!” Ji Eun memekik keras, memotong ucapan pemuda di hadapannya. Matanya memicing tajam saat menyadari ia sedang berdiri di tempat asing. Kepalanya berputar perlahan memerhatikan tempatnya berpijak. Ji Eun mengernyit tatkala melihat ada sebuah gerbong kereta api yang sangat panjang sedang berhenti. Pun orang-orang yang berbaris rapi memasuki kereta api tersebut.

“Tempat apa ini?” tanya Ji Eun setengah berbisik, tetapi pemuda di hadapannya itu bisa mendengar suaranya.

“Ini Tempat Pemberhentian Sementara,” sahutnya.

Ji Eun yang mengengar itu hanya memberikan tatapan tak mengerti. “Baiklah Tuan CheCheCherry… apa tadi? Tolong jelaskan padaku apa maksud dari semua ini,”

Suara tawa yang memecah keheningan membuat Ji Eun terlonjak.  Ji Eun hanya mendengus pelan saat pemuda itu menghentikan tawanya.

“Yang benar itu Cherubim,” koreksinya.

Ji Eun kembali mendengus, “Terserahlah.”

Pemuda yang mengaku sebagai Cherubim itu berdeham. Pandanganya mendadak berubah menjadi serius, membuat rasa takut kembali menyergap Ji Eun. Mata Ji Eun terbuka lebar, pun mulutnya saat suara pemuda itu tertangkap telinganya,

“Tempat di mana kau akan pergi ke kehidupan selanjutnya. Afterlife.”

Pandangan Ji Eun mendadak kosong. Otaknya tiba-tiba tidak bisa diajak berpikir. Blank. Tubuhnya hampir saja ambruk kalau ia tidak bisa menopangnya dengan sisa tenaganya. Berarti aku sudah… meninggal?

Saat air mata sudah hampir jatuh dari matanya, suara Cherubim itu menyentaknya kembali, “Kau belum meninggal, Nona Lee Ji Eun.”

Ji Eun menatap manik mata pemuda di hadapannya itu dengan ragu. Ia mengerjapkan mata berkali-kali agar air mata yang hampir keluar itu segera hilang. Dan sebuah suara yang tertangkap telinganya membuatnya lagi-lagi hanya bisa membelalakkan matanya.

“Saat ini kau sedang koma dan kau diberi kesempatan untuk hidup sekali lagi.”

Kedua kelopak mata Ji Eun terbuka secara perlahan. Cahaya lampu yang tertangkap matanya membuatnya harus mengerjapkan mata dengan pelan-pelan. Bau khas obat-obatan langsung menyergap hidungnya saat ia sedikit menoleh ke samping, mendapati ibunya sedang duduk, menundukkan kepalanya seraya menggenggam tangan kanannya erat-erat.

Matanya memandang berkeliling secara perlahan. Warna putih yang mendominasi langsung menginformasikan di mana ia sekarang. Rumah sakit.

Ji Eun mengambil udara dengan pelan. Ia baru menyadari bahwa ia memakai alat bantu pernapasan. Ji Eun kembali melirik ibunya yang masih menundukkan kepalanya tetapi tidak melepaskan genggaman tangannya. Ji Eun membuang napas secara perlahan, ibunya pasti lelah, menunggunya hingga ia tersadar dari koma yang panjang.

Gerakan pelan yang dibuat Ji Eun cukup membuat ibunya mendongak dan membelakkan matanya tatkala melihat Ji Eun sudah membuka matanya. “Kau sudah sadar?” Ibunya langsung berdiri, ia berlari keluar ruangan dan setelahnya seorang dokter dan beberapa perawat masuk mengikuti langkah ibunya.

Mata Ji Eun mengikuti gerakan dokter yang memeriksanya dengan cekatan. Ji Eun tidak bisa mendengar suara dokter itu karena saat ini matanya sedang fokus memandangi seseorang yang sedang berdiri di sudut ruangan.

Ji Eun menelan ludahnya susah payah. Bukan seseorang, tapi makhluk itu… Cherubim. Ji Eun terus menatapnya hingga sebuah suara—entah dari mana—terdengar jelas di telinganya.

Aku akan membimbingmu.

Dahi Ji Eun berkerut samar, membimbing apa?

Manik mata Cherubim itu menatap Ji Eun dengan tegas tetapi penuh kehangatan. Itu tugasku, kau tidak perlu tahu.

Ji Eun memejamkan matanya secara perlahan. Ia terlalu lelah untuk berpikir.

Gadis itu melirik sekilas ibunya yang masih mengobrol dengan dokter. Ketika ia kembali melirik sudut ruangan, pupil matanya sedikit melebar saat tak menemukan siapa-siapa di sana. Ke mana dia?

 

Nona, kau hanya punya waktu satu minggu.

Ji Eun menoleh ke kiri dengan pelan, mendapati Cherubim itu sudah berdiri di sebelahnya. Kenapa?

Itu tugasku, kau tidak perlu tahu.

Sebenarnya, Ji Eun ingin mengutuk jawaban Cherubim yang itu-itu saja, namun ia menemukan dirinya tidak bisa bergerak. Ia terlalu lemas, bahkan hanya untuk sekadar membuka mulutnya. Ji Eun ingin memberikan tatapan tajam pada Cherubim itu, namun yang ia lakukan malah bergerak gusar, membuat selang infus yang menancap di lengan kanannya ikut bergerak.

“Ji Eun! Ji Eun! Kau tidak apa-apa?”

Ji Eun mendongak, mendapati gurat wajah ibunya penuh dengan rasa khawatir. Lantas Ji Eun hanya mengangguk lemah sebagai jawabannya.

“Ji Eun tidak apa-apa. Mungkin ia hanya shock, jadi biarkan dia beristirahat.”

Ji Eun menghela napas saat suara dokter berhasil memecah keheningan. Entah kenapa rasa pening langsung menyerangnya lagi. Kejadian-kejadian yang bisa dibilang tidak masuk akal itu memaksa otaknya untuk berpikir lama dan Ji Eun benci itu. Ia benci saat terjebak dalam situasi tidak mengerti serta penuh tanda tanya, seolah-olah ia hanya orang bodoh di antara kumpulan orang-orang yang tak terlihat itu.

Aku tersinggung.

Terserah. Satu kata itu lewat di otaknya. Ji Eun tahu, Cherubim itu bisa mendengar apa yang lewat di hati maupun pikirannya, jadi ia hanya memejamkan matanya, mencoba menerima segala fantasi yang diterimanya akhir-akhir. Ia tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Ia tidak mengerti skenario apa yang Tuhan buat untuk dirinya. Ia tidak mengerti maksud semua ini.

Aku akan menjelaskannya nanti. Kau beristirahatlah.

Kepala Ji Eun mengangguk pelan tanpa disadarinya. Sebuah senyum kecil terpeta di wajahnya ketika matanya tidak melihat Cherubim itu lagi. Ia sudah menghilang, kembali ke dunianya.

“Ji Eun, kau tidak apa-apa, ‘kan?” Ibunya kembali duduk di kursi yang di letakkan di tepi ranjang tempat Ji Eun berbaring saat dokter dan perawat sudah keluar dari ruangannya.

Ji Eun memaksakan sebuah senyum, berharap dengan begitu perasaan khawatir yang terpeta jelas di wajah ibunya bisa segera hilang. Ibunya ikut tersenyum, ia membelai rambut Ji Eun dengan pelan seraya berujar, “Jangan memaksakan diri,”

Ji Eun hanya mengangguk pelan—pelan sekali—ia sendiri tidak yakin apakah ibunya melihat gerakan kecil yang dibuatnya. Satu hal yang menganggu pikirannya adalah… sudah berapa lama ia koma? Ji Eun memberikan tatapan penuh tanya pada ibunya, namun sepertinya ibunya tidak ingin menjelaskannya hari ini. Tidak sekarang.

“Tidurlah. Ibu akan menghubungi Suzy.” Ibunya berdiri dan sedikit membungkuk untuk mencium kening anaknya.

Ji Eun hanya tersenyum lemah setelah tubuh ibunya menjauh. Ia memerhatikan ibunya yang mengeluarkan ponsel di sudut ruangan dan setelah itu Ji Eun tidak bisa menahan kantuknya hingga ia terlelap dengan penuh tanda tanya di otaknya.

                                                                                                      —

“Bagaimana terapi hari ini?”

Ji Eun mendongak, menatap wajah Suzy sebentar yang sedang mendorong kursi roda. “Ada kemajuan,”

“Baguslah,” sahut Suzy. Ia mendorong kursi roda dengan pelan dan berjalan lambat-lambat. Mereka berdua sedang berjalan-jalan di taman rumah sakit, mencoba menghirup udara segar.

Hari ini, tepat satu minggu setelah bagunnya Ji Eun dari koma. Itu berarti, hari ini juga adalah hari terakhir Ji Eun untuk hidup. Ji Eun hanya mengerutkan dahi saat tahu Cherubim itu belum menjelaskan apa-apa padanya sampai saat ini. Padahal sebelumnya ia sudah berjanji ingin menjelaskan semuanya. Tapi Cherubim itu belum menampakkan dirinya semenjak ia bangun, entah apa yang ia lakukan di luar sana, Ji Eun tidak peduli, ia hanya ingin tahu misteri di balik ini semua agar semua pertanyaan-pertanyaan yang berlompatan di otaknya bisa terjawab.

“Ah!” Suzy memekik pelan, ia berlari ke hadapan Ji Eun, lantas berjongkok mensejajarkan posisinya. “Tunggu sebentar, oke? Aku akan mengambil tasku yang tertinggal di kamarmu. Jangan ke mana-mana, oke?”

Ji Eun mengangguk kecil, membuat Suzy mengembangkan senyum dan langsung berdiri, berlari kembali ke dalam gedung rumah sakit.

Ji Eun meyandarkan punggungnya, menghela napas saat melihat Suzy menghilang di balik tikungan. Sebuah senyum kecil merekah di bibirnya. Suzy sudah mengenal keluarganya sejak kecil, demikian sebaliknya. Mereka berdua sudah bersahabat sejak lama dan itulah yang menjadi alasan ibunya menelepon Suzy sejak Ji Eun tersadar. Ayah Ji Eun sudah meninggal sejak ia kecil sementara ia sendiri merupakan anak satu-satunya. Ibunya sudah menganggap Suzy sebagai anaknya sendiri.

Ji Eun mengangkat tangan kanannya. Jarinya menyentuh pelan cincin perak pemberian Suzy. Ia tersenyum kaku saat mengingat sedikit kenangan pahit yang berhubungan cincin itu. “Maafkan aku,” bisiknya.

“Cincin apa itu?”

Ji Eun mendongak, mendapati seorang pemuda yang memakai jubah hitam sedang berdiri di depannya. Cherubim. Ji Eun mendengus tanpa sadar saat tiba-tiba melihatnya. “Kenapa kau baru datang sekarang?” Mata Ji Eun menyipit.

Cherubim itu tersenyum. Ia duduk di kursi taman tak jauh dari Ji Eun. “Ada banyak masalah di Tempat Pemberhentian Sementara, jadi aku harus mengurusnya sebentar,”

“Baiklah,” Ji Eun melipat kedua lengannya, menatap Cherubim tak berselera. “Sekarang tolong jelaskan semuanya.”

Cherubim mengangguk. “Kalau kau bertanya kenapa kau diberi kesempatan untuk hidup kembali, aku tidak tahu jawabannya,” Sebelah tangan Cherubim terangkat saat melihat Ji Eun sudah membuka mulutnya. “Simpan dulu pertanyaanmu, nanti kuberi kau kesempatan untuk bertanya,”

Setelah Cherubim memastikan Ji Eun menutup mulutnya dan memusatkan penuh perhatian padanya, ia berdeham, “Jadi, namamu sudah ada di dalam kertas yang kupegang hari itu. Lee Ji Eun. 24 Desember 2013. Perpanjangan hidup satu minggu. Aku tidak tahu alasan dibaliknya, jadi maaf sekali aku tidak bisa membantumu.” ujarnya agak pelan, sedikit menyesal.

Ji Eun terdiam, lantas ia bertanya dengan nada mencela saat Cherubim tidak berkata apa-apa lagi, “Hanya itu?”

Cherubim itu mengangguk, ia terkekeh pelan, “Memangnya apa lagi yang harus kujelaskan padamu? Tugasku hanya menjagamu sampai hari ini, sampai detik hidupmu akan berhakhir.”

Ji Eun mendesah, ia pasrah dengan kematiannya yang sebentar lagi. “Omong-omong, aku seperti mengenal wajahmu,”

“Benarkah?”

Ji Eun mengangguk. Ia menegakkan tubuhnya. “Dan aku penasaran, kenapa kau disebut Cherubim?”

“Maaf membuatmu lama menunggu!”

Ji Eun menoleh dan tersenyum saat melihat Suzy berlari kecil. Ia langsung duduk di sebelah Cherubim, namun tentu saja Suzy tak bisa melihatnya.

Cherubim bentuk jamak dari Cherub, malaikat kebijakan.

Ji Eun melirik Cherubim dengan cepat. Telepati. Ia menggunakannya lagi. Memangnya kau bijak?

 

Entahlah, sahutnya. Dan Ji Eun, sepertinya wajahmu juga tak asing bagiku.

“Hei, kenapa kau melamun?”

“Eh?” Ji Eun menoleh, tersenyum. “Tidak ada.”

Suzy mengangguk. Ia bersandar sembari memainkan ponselnya. “Kau tidak ingat kenapa kau bisa koma?”

“Ya,” sahut Ji Eun pelan. Sepertinya Suzy akan menceritakan kenapa ia bisa terbaring di rumah sakit dalam keadaan koma. Sejujurnya, Ji Eun mengingatnya, hanya saja ingatan itu samar-samar, ia hanya mengingat ketika ia mendapat telepon dari Suzy dan setelahnya, kosong. Ia tak mampu mengingat kejadian setelah itu.

“Ingat ketika aku meneleponmu?” Suzy menaruh ponselnya ke dalam tasnya. Ia mulai memandangi Ji Eun. “Itu adalah hari kecelakaanmu, tertabrak mobil saat kau menyeberang karena tak melihat lampu tanda menyeberang.”

Ji Eun terdiam. Ia menatap Suzy penuh tanda tanya, memori itu perlahan-lahan masuk ke dalam otaknya.

“Kau tahu alasan aku meneleponmu?” tanya Suzy pelan. Ji Eun sendiri hanya diam, ia menunggu kata-kata yang keluar dari mulut sahabatnya itu. Pada saat memori itu tiba-tiba disodorkan kembali padanya, Ji Eun hanya terpaku. Ia membisu. Ia mengingat semuanya, seperti film yang diputar cepat di depan matanya. Ji Eun mengingat kembali serpihan-serpihan memori yang tiba-tiba hilang itu. Ia mengingat semuanya dan tanpa sadar, ia kembali memutar memori itu.

“Karena Jang Wooyoung selalu meracau memanggil namamu.”

May 29th, 2012

Dari seluruh anggota tubuhnya, hanya tangannya saja yang bergerak untuk mengaduk-aduk isi cangkir berwarna putih tulang tersebut tak berserlera. Tiba-tiba saja rasa hausnya hilang entah kemana saat minuman yang tadi dipesannya sudah tersaji di atas meja. Bunyi dentingan sendok yang beradu dengan dinding cangkir membuatnya menghela napas satu-satu, mencoba menepis rasa curiga dari isi otaknya.

Bisa saja dia bosan bersamaku, ‘kan? Ji Eun menarik sudut bibirnya tipis kala memikirkan kemungkinan tersebut.

Sejujurnya, Ji Eun sudah melemparkan itu puluhan kali pada dirinya sendiri saat intensitas pertemuannya dengan kekasihnya mulai berkurang. Gadis itu bahkan berniat melontarkan pertanyaan itu hari ini. Namun sayangnya, pemuda yang ditunggunya tidak bisa datang. Katanya, ada kepentingan mendadak yang membuatnya tidak bisa datang hari ini.

Ji Eun tersenyum tipis seraya menghentikan gerakan tangannya yang masih mengaduk minuman. Aku harus percaya. Setidaknya, itu bisa membuat hubungan ini tetap berjalan lancar. Kepalanya menggangguk singkat saat mendengar suara hatinya sendiri. Ji Eun mengangkat cangkir berwarna putih tulang itu dengan gerakan lambat. Ia menyesap isinya dengan perlahan-lahan. Ji Eun tersedak saat sebuah suara tertangkap telinganya, membuatnya hampir saja menjatuhkan cangkir yang digenggamnya.

Ahjumma, boleh aku pesan satu lagi?”

Kepala Ji Eun bergerak pelan mengikuti suara itu. Napasnya tercekat saat melihat kekasihnya sedang duduk bersama gadis lain. Ji Eun menatap nanar kejadian di hadapannya. Jang Wooyoung, kekasihnya, sedang tertawa bahagia di hadapan gadis lain. Tubuh Ji Eun bergetar hebat setelah melihat kejadian itu. Tangannya bahkan mengcengkeram tepi meja kuat-kuat, tidak tahu harus bagaimana. Telinganya bahkan dapat mendengar Wooyoung mengucapkan kata manis pada gadis itu.

Ji Eun bisa mendengarnya karena memang jarak mejanya dan meja Wooyoung tak terlalu jauh. Hanya saja Wooyoung tak bisa melihat Ji Eun karena terhalang sebuah tembok dengan lubang kecil di sana-sini—salah satu ornamen kafe ini.

Harusnya Ji Eun menghampiri Wooyoung, menuntut penjelasan. Namun Ji Eun malah mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya, mencoba menghubungi nomor Wooyoung.

Terdengar nada sambung beberapa kali hingga akhirnya Wooyoung menerima teleponnya, “Halo?

Ji Eun  melirik takut-takut ke arah Wooyoung lewat lubang kecil di dinding yang menghalanginya. Ia menghela napas panjang sebelum memulai aksinya, “Oppa, kaubilang hari ini ada urusan mendadak, bukan?” suaranya sengaja Ji Eun buat seceria mungkin, berharap dengan begitu bisa menyembunyikan suara bergetarnya.

Ya. Dan kau menganggu urusanku kali ini,”

Ji Eun kembali melirik Wooyoung yang saat ini sedang mengelus puncak kepala wanita itu dengan sayang. Senyumnya tidak hilang dari wajahnya, meskipun saat ini sebelah tangannya sedang memegang ponsel.

Tanpa terasa, sebulir air mata jatuh menuruni pipinya. Ia membekap mulutnya sendiri agar isakannya tak terdengar oleh Wooyoung.

Hei, kau mau bilang apa?

Air matanya jatuh semakin deras saat mendengar itu. Tangan Ji Eun semakin membekap mulutnya sendiri kuat-kuat agar isak tangisnya tak terdengar. “Oppa….” panggilnya pelan, masih berusaha menahan isakannya.

Ya?

Ji Eun menghela napas panjang, ia memegang ponsel dengan tangan yang bergetar. “Apa urusan itu… Makan siang bersama gadis berambut panjang? Urusan itu….” Ji Eun melirik Wooyoung sebentar. Tubuhnya refleks bersembunyi di balik dinding yang tak ada lubangnya saat melihat Wooyoung berdiri dengan gusar.

Kau di mana?

Mata Ji Eun kembali memproduksi air mata. Ia tak peduli dengan orang lain yang sedang memerhatikannya saat ini. Air mata Ji Eun tetap mengalir, tak mau berhenti. “Aku di rumah,” Ji Eun mencoba berujar santai, padahal jelas-jelas saat ini ia sedang bergetar hebat.

“Oppa, ada apa?

Sudut bibir Ji Eun tertarik sedikit saat mendengar suara gadis itu. Ia menghela napas panjang sebelum berujar pelan, “Oppa, ada apa?” Ia mencoba menirukan kata-kata gadis itu.

Ji Eun melirik sekilas Wooyoung yang saat ini sudah duduk kembali.

Kau di mana?” Wooyoung kembali mendesak. Tapi tentu saja Ji Eun tidak akan memberitahu di mana ia saat ini. Ji Eun tidak mau Wooyoung melihatnya menangisinya saat ini. Ia tidak mau.

“Aku di rumah,” sahut Ji Eun lemah.

Bohong,” desis Wooyoung di ujung sana. Ji Eun kembali tersenyum tipis. Saat ini air matanya sudah berhenti mengalir, namun tubuhnya masih bergetar hebat.

“Seharusnya aku yang bilang begitu, Oppa,” Kali ini Ji Eun memegang ponsel dengan kedua tangannya karena ia takut menjatuhkan ponselnya jika hanya memegang dengan satu tangan. “Please don’t be in love with someone else… Ingat dengan itu?” Mata Ji Eun kembali berkaca-kaca saat hanya ada keheningan di antara percakapannya kali ini. Air matanya kembali jatuh, namun dengan gerakan cepat Ji Eun menghapus air matanya. Ia tidak ingin menangis lagi.

Sementara di ujung sana, Wooyoung hanya bisa menghela napas. Ia tahu saat Ji Eun sedang melihatnya berselingkuh. Ia tahu saat ini pasti Ji Eun sedang menahan isakannya dibalik suara tenang yang didengarnya. Dan ia tahu setelah ini pasti hubungannya dengan Ji Eun akan segera berakhir.

Oppa, siapa sih, yang meneleponmu? Kenapa sejak tadi kau belum selesai?”

Wooyoung menatap lekat-lekat gadis di hadapannya. Gadis yang berani mengambil perhatiannya akhir-akhir ini. Gadis yang membuatnya mendadak pusing karena jantung Wooyoung berdetak lebih cepat saat melihat senyumannya. Gadis yang bahkan tidak tahu kalau saat ini Wooyoung sudah memiliki kekasih.

Oppa, ada apa?” Gadis itu melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Wooyoung. Wajahnya penuh dengan rasa khawatir. Wooyoung mengerjapkan matanya berkali-kali seraya menutup sambungan telepon. Ia mematikan ponselnya dan langsung menjejalkan benda canggih itu ke saku celananya. Wooyoung memasang senyum selebar mungkin, mencoba menutupi kebenaran di baliknya. “Itu hanya orang iseng,”

“Benarkah?”

Kepala Wooyoung mengangguk mantap, mencoba meyakinkan gadis di hadapannya. “Ah, ayo kita pergi ke bioskop!” Wooyoung bangkit dari duduknya. Ia merenggangkan tangannya lebar-lebar, mendadak saja seperti sebuah beban berat menimpa tubuhnya. Gerakan Wooyoung langsung terhenti saat melihat gadis di hadapannya tidak bereaksi sama sekali.

“Tapi kenapa, Oppa? Makanan kita belum siap,”

Sebuah senyum mengembang di wajah Wooyoung. Entah apa yang membuat Wooyoung menjadi seberengsek ini. Yang jelas, ia tidak mau berlama-lama di dalam kafe ini.

“Mendadak aku tidak berselera makan di sini. Ayo kita cari kafe lain saja!” Wooyoung menarik paksa lengan gadis itu, membuatnya langsung bangkit berdiri dari duduknya. Dengan gerakan cepat, Wooyoung menarik lengan gadis itu menuju pintu keluar.

Dan tanpa Wooyoung sadari, Ji Eun sedang menangis hebat saat ini. Ji Eun tidak mengerti apa kesalahannya hingga Wooyoung bermain di belakangnya. Sakit hati. Tentu saja. Siapa yang ingin hatinya dipermainkan seperti ini?

Bulir-bulir air mata kembali jatuh dengan deras. Ia tidak bisa menahanya. Ji Eun bahkan tidak menanggapi suara pelayang yang mencoba menghentikannya. Ia tetap menangis penuh lara.

“Nona, kau menganggu pelanggan lain,”

“Aku tidak peduli!” teriaknya kesal. Ji Eun hanya menatap wajah kaget pelayan tersebut dengan nanar. Mendadak Ji Eun ingin menjambak rambut panjang pelayan di hadapannya ini karena berani menganggunya. Namun tentu saja Ji Eun tidak melakukannya. Ia hanya bisa menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ia terus menangis hingga akhirnya mendadak semuanya menjadi gelap.

Please don’t be in love with someone else….

 

May 29th, 2013

“Ji Eun!”

Wooyoung bangun dari tidurnya. Bulir-bulir keringat jatuh di dahinya, membuat beberapa helai rambut lepek karenanya. Pun punggungnya basah oleh keringat sehingga kaus hitam yang dipakainya menempel sempurna di punggungnya.

Wooyoung membuang napas berat. Mimpi buruk.

Mimpi buruk itu kembali datang, mimpi buruk yang paling kelam. Mimpi buruk yang pernah hadir dalam hidupnya. Atau lebih tepatnya… kenyataan yang menjadi mimpi buruk. Kenyataan yang dialami Wooyoung sendiri, membuatnya terus dihantui dengan rasa bersalah.

Wooyoung menghela napas panjang. Setelah ia berselingkuh, Ji Eun tidak mau lagi bertemu Wooyoung, bahkan untuk menjawab telepon darinya saja, Ji Eun tidak mau. Ia tahu ini risiko atas perbuatan kurang ajarnya. Tapi Wooyoung hanya ingin minta maaf. Itu saja. Hingga akhirnya kesempatan meminta maaf itu tidak pernah hadir.

Wooyoung kehilangan kontak dengan Ji Eun.

Wooyoung mengacak-acak rambutnya frustasi. Penyesalan selalu datang belakangan itu memang benar adanya. Pasalnya sekarang ia menyesal. Sangat menyesali perbuatan kurang ajarnya tersebut. Wooyoung baru menyadari kalau selama ini Ji Eun sangat berharga setelah ia kehilangan sosoknya. Ia baru menyadari tidak akan lagi yang bisa direngkuhnya. Ia baru menyadari tak akan ada lagi suara lembut Ji Eun menyapa telinganya, “Please don’t be in love with someone else,” Tidak akan ada lagi. Bahkan setelah satu tahun menunggu, Tuhan tidak mengizinkan Wooyoung untuk bertemu Ji Eun.

Wooyoung mendesah pelan. Satu tahun bukanlah waktu yang singkat. Satu tahun adalah waktu panjang dengan rasa bersalah yang menggelayuti tubuhnya. Rasa bersalah itu tak akan hilang sampai akhirnya Wooyoung bisa meminta maaf.

Ditambah, Wooyoung baru menyadari kalau selama ini ia mencintai Ji Eun. Sangat mencintainya.

Wooyoung kembali menghela napas panjang. Tubuhnya beringsut turun dari kasurnya. Kakinya menuntunnya menuju dapur, mencari air mineral untuk menetralkan tubuhnya. Ketika tangannya sudah membuka pintu kulkas, pikirannya mendadak kosong. Wooyoung menatap botol mineral di dalam lemari pendingin tersebut. Wooyoung masih mengingatnya, ketika Ji Eun selalu melarangnya untuk meminum langsung dari botolnya. Ia selalu menyuruh Wooyoung minum menggunakan gelas.

Dengan gerakan cepat Wooyoung mengambil sebotol air mineral dan langsung meneguknya. Otaknya menolak untuk minum menggunakan gelas, meskipun hatinya berkata sebaliknya.

“Apa kabarmu?” Meskipun saat ini ada sebuah senyum tipis di wajahnya, tetapi sinar mata Wooyoung mendadak meredup saat mengatakan itu. Pandangannya sendunya tertuju pada tumpukan camilan yang bertengger manis di dalam kulkas. Ia baru menyadarinya bahwa keadaan Ji Eun saat memergokinya berselingkuh pasti seperti camilan itu. Tidak bisa apa-apa selain berdiam diri menahan dingin.

Dan juga air mata. Dan juga luka di hati. Dan juga rasa perih yang perlahan menggerogoti. Dan juga….

Dengan gerakan pelan, Wooyoung menutup kulkas yang masih terbuka. Ia mendesah berat saat kembali mengingat kata-kata terakhir Ji Eun yang didengarnya. Kali ini, tak ada yang bisa dilakukan Wooyoung selain memaki dirinya sendiri dan meninju udara kosong di udara.

Ia benci dirinya sendiri.

“Mau pergi?”

Langkah kaki Wooyoung terhenti saat melihat teman masa sekolahnya sekaligus tetangganya sedang melakukan pemanasan di dalam apartemennya. Pintu apartemennya terbuka lebar, membiarkan aktivitas sang pemilik apartemen terekspos dengan jelas, salah satu kebiasaan tetangganya yang selalu membuka pintu apartemennya di pagi hari. Saat Wooyoung bertanya apa alasan dia melakukan itu, pemuda bertubuh atletis itu hanya tertawa seraya menjawab, “Hanya ingin saja. Lagi pula tak banyak yang berlalu-lalang di pagi hari, bukan? Jadi tidak akan ada yang mengintipku.”

“Kau mau pergi?” tanya tetangganya itu yang sekarang sudah berdiri di hadapan Wooyoung. Wooyoung yang menyadari tatapan penuh selidik yang mengarah kepadanya hanya tersenyum dan mengangguk singkat.

“Ini masih pukul enam pagi, Wooyoung. Ada apa kau pergi di hari Minggu yang santai ini?” Taecyeon, pemuda bertubuh atletis itu hanya bisa mengerutkan dahi karena biasanya Wooyoung tidak suka melewati pintu apartemennya sebelum pukul sepuluh pagi di hari Minggu. Kelakuan Wooyoung hari ini tentu saja mengundang rasa penasaran Taecyeon karena hari ini wajah Wooyoung pun terlihat seperti sedang menahan amarah, kesal, sedih dan… kecewa? Entahlah. Yang jelas Taecyeon menangkap raut wajah Wooyoung kali ini benar-benar berbeda.

“Wajahmu pucat. Apa kau sakit?” tanya Taecyeon khawatir.

Wooyoung menggelengkan kepalanya pelan, “Aku baik-baik saja. Aku pergi dulu. Sampai jumpa.” Setelah mengatakan itu, Wooyoung mengambil langkah lebar-lebar meninggalkan Taecyeon yang masih menyimpan rasa khawatir.

Wooyoung menatap gadis di seberangnya dengan pandangan ragu. Matanya mengerjap beberapa kali hanya untuk memastikan bahwa gadis yang dilihatnya adalah manusia sungguhan, bukan imajinasinya atau ilusinya sendiri. Wooyong takut ketika ia membuka matanya, gadis itu sudah tidak terjamah. Ia takut tidak bisa bertemu dengan gadis itu lagi.

Dengan ragu Wooyoung mengambil langkah kecil, menghampiri gadis yang sedang berdiri. “Ji Eun?” panggilnya pelan, nyaris tak terdengar. Tetapi gadis itu menoleh, senyum yang terpeta di wajahnya perlahan menurun saat tahu siapa yang menyapanya.

Mencoba untuk menutupi keterkejutan dirinya sendiri, Ji Eun memandang pemuda di sebelahnya dengan dingin. “Oppa?”

Wooyoung yang menyadari tatapan dingin yang diberikan Ji Eun hanya bisa mengulum senyum, menyembunyikan perasaan kecewa yang menyelusup di hatinya. Wooyoung berdeham keras saat tiba-tiba ia menemukan suaranya hilang tatkala ia bisa kembali bertemu dengan gadisnya. Ah, tidak. Dia bukan gadismu lagi, Wooyoung.

Wooyoung tersenyum kecut saat sebuah fakta tersebut disodorkan ke arahnya. Ia berdeham—lagi—untuk mengusir rasa gugup yang menyerangnya secara tiba-tiba. “Apa kabarmu?” Akhirnya Wooyoung melontarkan pertanyaan basa-basi itu.

Ji Eun terdiam. Kenyataan ia bisa bertemu dengan Wooyoung menjadi sebuah kejutan bagus di pagi hari. Terlalu bagus, pikirnya. Ji Eun yang baru menyadari kalau sejak tadi hanya berdiam diri mulai mengeluarkan suaranya, “Aku baik. Oppa sendiri?”

“Tidak terlalu baik,” sahut Wooyoung cepat yang membuat Ji Eun meliriknya sekilas.

Wooyoung mendesah berat. Ia tidak menyangka kalau Tuhan masih mau mempertemukannya dengan Ji Eun. Ia merasa kalau Tuhan terlalu baik atas apa yang ia lakukan. Kepala Wooyoung tertunduk. Ia memperhatikan setiap air yang mengalir di depan matanya. Sungai Cheonggyecheon.

Wooyoung mendongak, menatap gumpalan awan yang menggantung di langit. Sebuah pertanyaan keluar dari mulutnya tatkala melihat awan-awan yang bergerak pelan, “Kau ingat tempat ini?”

Ji Eun mendengus. Entah ia harus tertawa atau menangis. “Ya.” sahutnya pada akhirnya, tidak ingin terlalu berlama-lama di sini, membuka memori itu lantas mengorek kembali luka yang sudah hampir tertutup itu.

Wooyoung kembali menundukkan wajahnya. Desahan berat kembali keluar dari mulutnya, “Kuharap aku bisa kembali ke masa lalu.”

Ji Eun tersenyum miring, lantas berujar pelan, “Semua orang ingin bisa seperti itu.”

Wooyoung kembali tersenyum kecut. Ia tahu hampir semua orang mengharapkan alat bernama mesin waktu yang tidak akan pernah ada di dunia ini. Ia tahu banyak sekali penyesalan yang hadir di setiap diri manusia, termasuk dirinya sendiri.

Tanpa disadarinya, Wooyoung kembali memutar memori itu. Desahan panjang lagi-lagi terdengar saat ia tahu serpihan kenangan manis itu hanya tinggal memori yang berputar jauh di belakang. Kedua orang yang sedang berdiri di depan Sungai Cheonggyecheon itu hanya berdiri kaku memandangi aliran air yang mengalir. Mereka berdua terlalu sibuk bermain dengan pikirannya masing-masing hingga mereka tidak menyadari bahwa waktu terus berputar, terus melaju hingga Sungai Cheonggyecheon yang tadinya hanya ada mereka berdua lama kelamaan menjadi semakin ramai.

Ji Eun menghela napas, matanya mulai memandangi orang-orang yang sedang berjalan santai dengan ekspresi yang sama. Tersenyum. Tertawa. Mereka semua menunjukkan ekspresi itu di tempat ini. Ji Eun memejamkan matanya secara perlahan. Ia mulai tidak menyukai suara-suara yang mulai bersahut-sahutan itu. Ia mulai tidak menyukai suara tawa yang tertangkap telinganya. Ia mulai tidak menyukai fakta bahwa ia… berdiri di tempat ini bersama Jang Wooyoung.

Ji Eun mendengus keras dengan mata yang masih terpejam. Jang Wooyoung.

“Maaf,”

Kelopak mata Ji Eun langsung terbuka saat satu kata itu meluncur dari kedua belah bibirnya. Kepala Ji Eun tertoleh, ia memerhatikan Wooyoung yang saat ini sedang menunduk seraya menghembuskan napas beberapa kali.

“Aku… minta maaf,”

Jeda sejenak hingga akhirnya Wooyoung kembali membuka suaranya, “Aku minta maaf. Aku… aku… tidak tahu apa yang kulakukan waktu itu jadi—eh,” Wooyoung menelan ludah saat tiba-tiba ia tidak tahu harus mengatakan apa. Kata-kata yang berhasil dirangkai otaknya seakan hilang hanya dengan jentikkan jari.

Wooyoung berdeham. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat, namun otaknya yang mendadak kosong hanya bisa berkata dengan pelan, “Mungkin… mungkin aku memang tidak pantas meminta maaf darimu tapi… aku minta maaf.”

Ji Eun mendesah pelan, “Aku sudah memaafkanmu,” bisiknya. Ji Eun memberanikan diri menatap kedua mata Wooyoung dengan ekspresi meyakinkan. Itu memang benar, Ji Eun sudah memaafkan Wooyoung. Ia sama sekali tidak menaruh rasa dendam atau benci pada pemuda itu. Meskipun ia ingin, tetapi ia menemukan dirinya tidak bisa membenci pemuda itu. Ia tidak bisa melakukannya.

Wooyoung tertawa hambar seraya berujar pelan, “Kau terlalu baik, Lee Ji Eun.” Wooyoung melirik Ji Eun yang sedang berdiri kaku. Kali ini Ji Eun sudah mengalihkan tatapannya. Ia kembali memandangi aliran sungai.

Wooyoung mengangkat sebelah alisnya saat melihat sesuatu berkilat di jari Ji Eun. Ia menelan ludah, berharap ia hanya berhalusinasi. Wooyoung menatap Ji Eun, jarinya, Ji Eun, terus begitu hingga kepalanya mendadak seperti mau pecah.

Dengan ekspresi tak percaya, ia bertanya ragu, “Kau… kau sudah bertunangan?”

Ji Eun tersentak. Ia langsung melirik jari manisnya yang dihiasi cincin perak. Dengan gerakan pelan, ia memegang jari manisnya. Ia bisa merasakan cincin yang menghiasi jari manisnya begitu dingin. Ji Eun tidak tahu harus bereaksi apa, hingga akhirnya ia mengangguk. Satu anggukan kecil yang menghantam Wooyoung kuat-kuat.

Tanpa sadar, Wooyoung memegang kepalanya. Pandangannya mendadak berputar-putar, kepalanya mendadak terasa berat. Wooyoung mengambil napas panjang, ia menyadari udara di sekilingnya terasa sangat berat, ia sulit untuk bernapas. “Kalau begitu, selamat.” ujarnya pelan dan… dingin. Ia tidak tahu kenapa rasa marah, cemburu, tidak terima seperti mengisi penuh setiap rongga hatinya, padahal ia tahu sendiri cepat atau lambat kejadian ini akan terjadi. Tapi kenapa, ia sangat tidak menerima kenyataan ini?

Karena tanpa sadar, Wooyoung masih menaruh harapan. Wooyoung masih menaruh harapan untuk kembali dengan gadisnya, gadis yang pernah di sakitinya, Lee Ji Eun.

Wooyoung kembali menemukan dirinya sulit bernapas, seperti sebuah berton-ton batu meninju rongga dadanya, ia hanya mendesah, “Sepertinya aku harus pulang,” Wooyoung menelan ludah. “Sampai jumpa, Lee Ji Eun.” pamitnya seraya berjalan pelan, meninggalkan Ji Eun yang masih berdiri dalam keheningan.

Setelah melihat Wooyoung meninggalkan tempatnya berdiri tadi, tanpa sadar Ji Eun mengeluarkan air matanya. Setelah sekian lama ia tidak menangis, hari ini, di tempat dan waktu yang tak terduga ia menangis, menangisi pemuda yang pernah menyakitinya, Jang Wooyoung.

“Maaf.” Ji Eun menutup mulutnya dengan kedua tangannya, berharap isakannya tidak terdengar orang lain. Maafkan aku.

Kenyataannya, Lee Ji Eun sama sekali belum bertunangan. Cincin yang dipakainya hanya cincin pemberian sahabat baiknya. Cincin yang dipakainya hanya sekadar cincin persahabatan. Ia berbohong. Dan parahnya, ia juga membohongi hatinya sendiri bahwa ia masih menyimpan rasa pada pemuda itu.

Maafkan aku.

Satu minggu setelah pertemuannya dengan Ji Eun, Wooyoung menjadi tertekan. Pola makannya berantakan, matanya cekung dan lingkaran hitam muncul di sekeliling matanya. Ia lelah, tapi entah kenapa matanya tidak bisa terpejam.

Wooyoung sendiri tidak mengerti kenapa ia tidak mau menerima kenyataan ini. Padahal dulu ia ingin bertemu Ji Eun untuk meminta maaf, bukan ingin memintanya merajut kembali kisah cinta mereka.

“Halo, boy! Sudah berapa lama kau tidak ke sini?” Suzy mendorong bahu Wooyoung dengan gerakan main-main. Saat ini Wooyoung sedang duduk di dalam kafe milik Suzy. Dan kebetulan, hari ini Suzy sedang mampir ke kafenya sendiri.

“Aku lelah, jangan ganggu aku,” desis Wooyoung dingin.

Suzy menaikkan sebelah alisnya. Ia merasa aneh dengan sikap Wooyoung hari ini. “Hei, ada apa denganmu? Kau seperti anak muda yang sedang patah hati.” Suzy terkekeh pelan. Ia melirik Wooyoung yang saat ini sedang menatapnya tajam, seakan-akan ingin membunuhnya.

Suzy menelan ludah, ia hanya ingin bercanda, ada apa dengan aura menyeramkan dari anak ini? “Baiklah, baiklah, kau ingin pesan apa, Tuan Jang Wooyoung?”

Wooyoung hanya menggeleng pelan. “Tidak, terima kasih.” sahutnya dingin.

Suzy mengangguk dan berjalan meninggalkan Wooyoung sendirian. Sepertinya ia butuh berpikir, pikirnya cemas. Suzy baru saja ingin memasuki dapur restoran ketika suara teriakan menghentikan langkahnya.

Ia menoleh cepat dan membelalakkan matanya ketika melihat Wooyoung seperti orang gila. Ia menendang kursi dan meja dengan brutal. Ia menarik taplak meja dan membuangnya asal ke sudut restoran. Merasa tak puas, ia menghampiri meja lain dan langsung membalikkan mejanya, membuat piring serta gelas hancur berantakan ke lantai.

Pengunjung yang lain hanya menatap Wooyoung dengan pandangan ngeri. Mereka tak bisa melakukan apa-apa selain menatap Wooyoung dengan tatapan takut seraya keluar dari restoran, berharap mereka tidak terkena amukan pemuda yang mendadak kehilangan kontrolnya.

Suzy tersentak saat melihat para pegawainya mulai memegangi Wooyoung, mencoba menghentikan pemuda itu untuk bertindak lebih jauh. Dengan gemetar, Suzy mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi salah seorang teman sekolahnya dan tetangganya Wooyoung. Ia menelan ludah susah payah saat mendengar suara teriakan Wooyoung memanggil nama sahabatnya.

Matanya hanya bisa terpejam saat melihat salah satu pegawainya dengan terpaksa memukul keras-keras kepala Wooyoung dengan buku menu yang tebal, membuatnya langsung lemas tak sadarkan diri.

Suzy menghentikan langkah kakinya. Ia menghambil napas panjang lantas berbalik, mendongak melihat gedung apartemen yang menjulang ke langit. Ia mendengus keras saat mengingat kata-kata teman lamanya yang akan menjaga Wooyoung dengan baik.

“Tenang saja, kau tidak perlu khawatir. Bagaimanapun juga dia temanku. Aku akan menjaganya, jangan anggap remeh kemampuanku, Nona.” Taecyeon mengacungkan ibu jari saat mengatakan itu.

Suzy mau tak mau harus memercayai itu dan memutuskan untuk segera beranjak. Dan di sinilah dia, berdiri dengan pikiran bingung harus memutuskan menghubungi Ji Eun atau tidak. Dengan desahan pelan, ia mengeluarkan ponselnya dan memutuskan untuk menghubungi sahabatnya itu.

Tuttuttut

Ya? Ada apa?

Suzy menghirup udara sebanyak yang ia bisa saat bertanya, “Bisakah kau datang ke apartemennya Wooyoung?” Meskipun agak ragu, Suzy menanyakan itu dengan nada cemas.

Jeda sejenak hingga akhirnya suara Ji Eun terdengar tidak suka, “Kenapa?”

Suzy mendesah panjang, “Sesuatu terjadi padanya, dia terus-terusan memanggilmu dan… dan dia meracau sesuatu tentang cincin—”

Apa?” Ji Eun berseru keras di ujung sana, membuat Suzy mengernyit sesaat. “Apa katamu?

“Kau sudah mendengarnya.” sahut Suzy. “Cepat ke sini, aku menunggumu di lobi—”

Tut.

Suzy menurunkan ponselnya dan menatap layar ponselnya dengan alis yang terangkat sebelah. Seraya megedikkan bahu, ia kembali memasuki gedung apartemen untuk menunggunya di lobi.

Hampir tiga puluh menit Suzy menunggu kedatangan Ji Eun, namun gadis itu belum menunjukkan wajahnya, padahal jarak antara rumahnya dengan apartemen Wooyoung tidak terlalu jauh.

Perasaan cemas yang melandanya langsung hilang saat ponsel Suzy menjerit-jerit. Itu pasti Ji Eun, pikirnya.

Namun rasa lega yang menerpanya beberapa detik lalu langsung sirna saat melihat nama yang terteranya bukan nama Ji Eun, melainkan ibunya. Dengan perasaan ragu—serta takut—gadis itu mengangkat telepon itu. Ia membuka mulutnya untuk bertanya “ada apa” namun ibu Ji Eun langsung menyelanya dengan cepat.

“B-bisakah kau menemani Ibu? Ji Eun… Ji Eun… dia kecelakaan dan sekarang dia… di rumah…” Ibu Ji Eun terisak kencang, membuat rasa takut menjalari seluruh tubuhnya. Seraya berdeham pelan, Suzy menyahut lemah, “Tunggu aku di sana.”

Suzy terdiam cukup lama. Ia merasa bersalah dan ingin menangis. Namun bukan iskan yang terdengar, melainkan suara dari ponselnya. Ia mengumpat karena nada dering yang tiba-tiba menyentaknya kembali menuju realita. Gadis itu mengernyit saat melihat nama Taecyeon tertera di layar ponselnya. “Ya?”

Suzy! Wooyoung dia… dia…

Perasaan panik langsung menyerbu masuk saat mendengar suara Taecyeon yang terbata-bata. “Ada apa?” serunya mulai panik karena Taecyeon tidak berkata apa-apa lagi.

Dia gantung diri! Jang Wooyoung bunuh diri! Dia—”

“Apa yang kaulakukan? Kau berjannji untuk menjaganya!” Suzy langsung bangkit dari duduknya. Ia merasa pusing karena berbagai perasaan bercampur dan tiba-tiba ia merasa mual. Lambungnya seakan ikut bergolak ketika mendengar kabar buruk yang lain.

Aku tidak tahu!” Taecyeon ikut berteriak di ujung sana, rasa panik serta kekesalan terdengar dari nada suaranya. “Kulihat tadi dia tidur—pulas sekali—lantas aku pergi sebentar ke apartemenku. Namun ketika aku kembali, dia sudah seperti itu,” Napas Taecyeon yang menderu membuat jantung Suzy berdetak lebih cepat. “Gantung diri di dalam kamarnya sendiri.

December 31st, 2013

Tap

Tap

Tap

Langkah kaki milik pemuda itu mendadak terhenti. Dia berdiam diri seraya menatap mata Ji Eun dengan lekat-lekat. Ji Eun tercekat saat menyadari siapa sebenarnya sosok Cherubim itu.

Pemuda itu menyeret langkahnya yang terasa berat menuju Ji Eun. Kedua bola matanya seakan berbicara untuk merengkuh gadis itu; ia sangat merindukannya. Namun rahangnya mengeras. Dia tahu ia tidak berhak melakukan itu, terlebih ia sendiri tidak mengerti kenapa Tuhan menghapus memorinya tentang Ji Eun.

Mereka berdua terdiam cukup lama hingga akhirnya Ji Eun bertanya dengan pelan, “Kenapa kita tidak saling mengenal?”

Wooyoung mengangkat bahunya pelan, ia juga tidak mengerti. “Mungkin ini karena kebohongan kita.”

Ji Eun menatap Wooyoung lama. Kita?

Ya, sahutnya. Kebohongan kau dan aku di masa lalu.

Ji Eun tersenyum lemah. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Maafkan aku.

Aku juga minta maaf.

Ji Eun mendongak, ia mengamati Wooyoung yang saat ini sedang melihat kertas yang digenggamnya. “Ah, ternyata kau bukan meninggal hari ini.”

“Apa?” Mata serta mulut Ji Eun melebar. Ia tidak mengerti dengan semua ini. “Bagaimana bisa?”

Wooyoung menatap Ji Eun seolah-olah dia lelah. “Aku juga tidak tahu. Aku hanya asisten di sini. Yang berhak mengatur semuanya tentu saja hanya Tuhan karena otak milik-Nya melebihi kemampuan otak kita.”

“Dan Ji Eun,” Wooyoung terdiam selama beberapa detik sebelum ia melanjutkan, “Karena kau kembali hidup, kau akan lupa dengan Cherubim serta tentang perpanjangan waktu ini.”

“Apa?” Ji Eun menatap Wooyoung tidak percaya, ia menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Berarti aku akan… melupakanmu?”

Wooyoung mendesah, “Bukan aku, tetapi Cherubim serta semua hal tentang keajaiban ini. Kau akan melupakan semuanya.”

Gadis itu terpaku. Ia menatap mata Wooyoung dengan ragu. “Kalau begitu, bolehkah aku memelukmu?” Untuk yang terakhir kali.

Wooyoung mengangguk, ia langsung merengkuh Ji Eun dengan erat. Tangan kirinya terangkat untuk mengelus puncak kepala Ji Eun. Ji Eun yang merasakan elusan lembut itu semakin membenamkan kepalanya. Ia menghirup dalam-dalam aroma tubuh Wooyoung, berharap ia akan terus mengingatnya.

“Aku mencintaimu.”

Mendengar itu, Ji Eun semakin tidak ingin melepaskan pelukannya hingga akhirnya mereka melepaskan pelukan dengan enggan karena cahaya menyilaukan datang tiba-tiba di sekeliling mereka. Mereka bertatapan cukup lama hingga cahaya itu semakin lama semakin terang, hampir membutakan mata.

Aku juga.

Ji Eun memejamkan matanya secara perlahan saat sudah tidak tahan dengan cahaya yang semakin silau. Ji Eun hampir saja memaksa membuka mata saat mendengar suara itu di kepalanya.

Please don’t be in love with someone else… Itu kode kita saat kita bersama. Kau mengingatnya? Sekarang, kau tidak perlu khawatir lagi, karena aku memang tidak akan mencintai orang lain selain dirimu.

January 1st, 2014

“Kau sudah sadar?”

Ji Eun membuka mata dengan pelan. Ia memegangi kepalanya yang mendadak pusing. “Aku kenapa?”

“Kau pingsan kemarin.”

“Di mana ibu?” tanya Ji Eun saat menyadari hanya ada Suzy di ruangannya.

“Oh, tadi keluar sebentar.”

Ji Eun mengangguk. Ia mengerang saat mencoba bangun dari tidurnya dan menyandar di tumpukan bantal yang disusun Suzy. “Aku bermimpi bertemu Wooyoung.”

Suzy terkejut, tetapi ia tetap tersenyum. “Huh? Bukankah seharusnya ini anniversary kalian yang ke empat tahun?”

Ji Eun tersenyum lemah. Secara tidak sadar gadis itu mengingat masa lalunya dengan senyuman, bukan lagi air mata. “Orang lain selalu berpikir kode yang kami gunakan begitu berlebihan, tapi tak ada salahnya, ‘kan, kalau kami tetap menggunakannya?”

Suzy terkekeh. Ia kembali mengingat masa-masa mereka berdua berkencan. Menggunakan kode yang terlihat konyol agar saling mengingatkan untuk tidak melirik yang lain. Meskipun pada akhirnya salah satu dari mereka melanggar kode yang mereka buat sendiri.

“Ada pesan masuk,” Suzy memberikan ponsel Ji Eun kepada pemiliknya. Ji Eun mengernyit sekilas saat melihat nomor tak dikenal. Dengan ragu ia membuka pesan itu dan membacanya.

Apa kau bahagia karena bisa melihat orang-orang yang mencintaimu?  —C

Siapa C? Ji Eun mengangkat bahu tak peduli, ia mengalihkan pandangan kepada Suzy, tersenyum lembut saat melihat Suzy juga sedang tersenyum kepadanya.

“Ah, kau sudah sadar?”

Kedua orang itu menoleh ke sumber suara. Ji Eun tersenyum, sementara Suzy berujar pelan, “Bibi, bagaimana kalau kita menjenguk Wooyoung hari ini?”

Meskipun ibu Ji Eun agak terkejut, tetapi ia mengangguk saat melihat senyum tulus dari Ji Eun. Mungkin Ji Eun masih mencintai Wooyoung, tapi kadang, ketika dua orang saling mencintai, bukan berarti mereka akan terus bersama selamanya, karena tidak akan pernah ada yang abadi di dunia ini.

Dan C, siapa pun itu, aku bahagia. Aku bahagia karena bisa melihat orang-orang yang kucintai dan mencintaiku. Aku tak perlu menggunakan kode untuk saling melengkapi; karena pelengkap kesetiaan yang sebenarnya adalah hati itu sendiri, bukan janji atau sebuah kode.

***

A/N: Halo! Jadi ini fanfiction lama yang kutulis sekitar akhir tahun 2013. Aku tahu fic ini aneh banget, kan? Aku juga ngerasa kok. Fantasinya kurang terekspos, kan? Iya iya, ini emang failed banget. T___T Mohon maaf untuk segala kekurangannya, ya. Silakan berikan komentar kalian hehe 🙂

13 respons untuk ‘The Code

  1. Oke, kakak kayanya aku PHP banget ya? Aku udah baca ini kemarin tapi baru comment sekarang >oo< Wooyoung dan Jieun waktu lagi patah hati keliatan kaya frustasi. Wooyoung sampai banting-banting meja dan bunuh diri segala. u_u waktu baca Jieun bohong kalau dia udah tunangan itu rasanya sediiih banget. Ada sesuatu yang bikin 'gela'. Dan… haaah… Jieun beneran lupa cama Cherubim itu ya? Sumpah otakku lemot atau gimana aku baru bisa nyadar kalau Cherubim itu adalah Wooyoung di part mau ending -_-
    Endingnya aku sukaaa 😀 Biar pun Jieun dan Wooyoug, sih -_- Kakak semangat ya! Keep writing dan ditunggu yang lainnya~!

    1. eh, kepotong, Kak. Harusnya, ‘Biar pun Jieun dan Wooyoug pisah, sih’. u_u maaf. Sebenernya, comment ini kepotong banyak. Aku tambahin lagi ya..

      Ouh, ini nggak aneh, kok. Bagus! Kalau kata kakak ini terinspirasi dari film, pas baca tuh aku malah inget sebuah novel tapi aku lupa (_ _”) Pas baca ini juga aku jadi inget FF kakak yang Home Sweet Home itu. Penyesalan emang selalu datang terakhir.
      Oke, segitu aja 🙂

      1. ah kia~ kamu enggak php kok! soalnya aku juga punya banyak hutang komen huhu syedih 😦
        banting2 meja haha aku juga gatau kenapa harus banting meja segala /slapped
        iya, kenapa harus membohongi perasaan sendiri ya? u,u

        yep! jieun lupa sama cherubim itu. hehe sebenernya, mereka berdua tuh udah kode2an, kayak bilang ‘wajah kamu enggak asing deh, tapi aku lupa liat kamu di mana.’ ya semacam itu lah 😀

        kamu suka ending-nya? wah makasih ya kia! /big hugs/ ❤
        makasih banget kamu suka dengan ini makasih yaaaa 😀
        oh iya, aku juga baru 'ngeh' kalau ini juga tentang penyesalan hoho makasih kia udah mau ngasih komentar! 🙂

    1. oke gapapa kak 😀
      oh iya, wooyoung ikut wgm ya? sama siapa sih dia? aku ga ngikutin wgm soalnya

      kita selalu donggg hehe kakak juga semangat ya! ^^

      1. sama seoyoung kalau gak salah namanya hehe

        yoyoy Hwaiting Semuanya

        siap2 besok MV Hiigh4 ft. IU nya rilis ^^

  2. awalnya bingung sndiri dgn kode kode it ._.
    Tp akhirnya ngrti juga, hehe.
    Suka bngt sma endingnyaa ❤

    1. Aku aja yang nulis bingung /slapped
      Hehe Alhamdulillah kalau ngerti mah.
      Waaah makasih! Makasih juga udah mau baca 😀

    1. Halo Ucca!
      Hah, serius ini sedih? *shock* duh makasih ya udah mau baca mana bilang ini sedih banget padahal kenyataannya ini abal banget ><
      Makasih loh udah mau baca!
      Eh, unnie? Memang kamu line berapa? Aku Rida 97liner hehe salam kenal Ucca! 😀

wanna say something?